Rasanya “Nano-Nano Ulala”
Apa benar mencintai itu fitrah?
Tapi… ah, terserah mau fitrah atau bukan.
Ketika aku jatuh “cinta” pada seseorang
Cenderung hatiku menjadi sakit
Tepatnya berpenyakit…
Kenapa?
Alasannya…
Bisa jadi karena tak mampu mengelola perasaan
Berbeda
Iya, berbeda dengan ketika aku mengagumi
Gampang mengagumi banyak orang
Baik mereka perempuan atau laki-laki
Sampai ada yang menyeletuk “Gampang banget kamu kagum sama orang?”
Terkadang mudah kagum itu juga sering dibuat kecewa
Tapi
Ketika aku jatuh cinta
Lama…..
Nalarku berasumsi “Sesak”
Hasratku berargument “Rindu”
Hatiku berdetak “Apa ini?”
Dan naluriku berkata “Sudahi saja perasaan ini”
Bisikan pun datang “Ayo katanya hatimu ingin diisi Allah saja jadi lupakanlah dia, jauhi dia”
Rasa mu tak akan memberi manfaat sekarang
Rasa mu tak akan ada artinya untuk saat ini
Dan rasamu akan berdampak menyakitkan
Logika ku bilang “Iya sih, itu benar”
Untuk saat ini tak ada gunanya aku menyukai seseorang secara berlebihan
Karena hal yang sama mungkin akan terulang kembali
Iya benar, hal yang sama akan terulang kembali
Dan hal yang sama itu adalah “patah hati”
Aku pernah dibuat patah hati
Oleh cinta pertamaku
Dia yang hanif nan cerdas
Tapi bukan aktifis
Dan dia telah menikah
Lalu… Sekarang sepertinya rasa yang sama melandaku lagi
Rasa yang membuatku tidak fokus
Rasa yang membuatku sedih
InsyaAllah, dia adalah seorang yang hanif juga
Plus aktifis dakwah
Memang seleraku tidak jauh-jauh dari yang beraroma Islam
Dan aku tidak ada ketertarikan pada seorang non muslim
Meski mereka gantengnya bak artis korea yg kebanjiran fanster
Penampilan fisik kurang berefek padaku
Otakku bilang “ganteng or cantik itu relatif”
Yang membuatku terpukau adalah takwanya seseorang
Dan yang membuatku semakin tergoda adalah kecerdasannya seseorang
Siapa sih yang tidak mau imam yang hanif cerdas pula?
Sekarang pilihanku adalah melupakannya
Tindakku adalah menjauhinya
Ekspresiku mencoba datar
Senyumku mencoba menipis
Rasaku kubohongi dan semakin berpura-pura tidak suka
Jejaring sosial tempatku menyimak petuah-petuahnya juga sudah ku blokir
Kontak pun ku delete
Aneh!
Iya, aku memang aneh
Mungkin ada yang mau bilang aku bukan pejuang cinta
Ngapain juga jadi pejuang untuk hal yang tak pasti seperti itu
Dan aku pun tahu,
namanya sering disebut banyak wanita lain yang terpesona
Dan aku tidak ingin menjadi bagian dari mereka yang bisanya menggoda
Yang memburu perhatiannya
Cemburu?
Buat apa cemburu… maaf saja itu bukan caraku
Dia loh bukan siapa-siapanya aku
Suami saja bukan, tidak penting! Afwan….!
Aku maunya cemburu sama Bidadari Surga
Bidadari-bidadari yang menjadi calon permaisuri suamiku
Meski aku tidak tahu, nantinya suamiku itu siapa?
Saat ini…
Yang kulakukan hanyalah “Percaya”
Percaya pada Allah saja
“Aku titip dia yang kusuka sama Allah saja”
Jika dia yang terbaik untukku semoga didekatkan dalam ikatan yang halal
Jika bukan dia orangnya, maka pintaku pada Allah agar dia dijauhkan dariku
Hora!
Dan kini aku akan bercerita hal yang sebaliknya
Apa benar dicintai itu fitrah?
Tapi… ah, terserah mau fitrah atau bukan.
Ketika aku “dicintai” oleh seseorang
Cenderung hatiku menjadi sakit
Tepatnya berpenyakit…
Kenapa?
Alasannya…
Tak jauh berbeda dengan ketika aku mencintai
Aku tak mampu mengelola hatiku
Aku cenderung kesal ketika disukai
Ketika disukai adalah hal yang sama saja dengan menyukai “Sesak”
Aku disukai orang yang kuanggap sahabatku sendiri
Kini berdebat dan berdebat
Harusnya dari awal aku sadar tiada istilah persahabatan antar dua insan yang berbeda
Dan dengan terang-terangan dia bilang suka
Padahal dia aktifis dakwah, sempat-sempatnya bilang suka sama aku
Impianku adalah ada seorang yang hadir dan menyatakan cinta padaku dalam pernikahan
Tapi ini malah membuat berantakan
Dan dia bilang “percayalah akan pecinta sejati”
Tak jawab “cinta sejati itu omong kosong”
Yakinku tak ada cinta sejati sebelum pernikahan
Cinta sebelum pernikahan itu adalah bongkahan ujian, dan proses seleksi hati
dan yang membuatku semakin kesal adalah ketika aku dengar dia mengumbar ceritanya kepada teman-teman yang lain termasuk Murobbi,
Dan aku seakan menjadi terdakwa
Memangnya aku apakan dia?
Tidak aku apa-apain kok?
Sampai ada omongan si akhwat sering curhat
Terdengar centil aku?!
Sekarang aku tanya siapa yang inbox fb dan punya no hp ku duluan?????
Siapa juga yang suka ngajak berdebat?
Dan tiap komunikasi selalu membahas seputar Islam
Tidak jauh-jauh dari sok-sokan sok tahu tentang kajian, fiqh, buku, hizb..
Tapi memang aku akui aku sempat cerita hal pribadi
cerita tentang kegalauanku seputar salah jurusan di perkuliahanku sih
Nah loh?
Tapi sumpah demi Allah, aku tidak pernah bicara hal-hal yang tidak pantas dibicarakan
Seperti menggodanya dan lain-lain
Menelpon dan lain-lain dengan nada ganjen apalagi.
Hanya satu kali aku telpon dia
untuk minta tolong membelikan keperluan kertas dan lain-lain waktu FSDA,
itu pun siang, singkat, meski saat itu aku sedang panik karena pekerjaanku belum kelar….
Tapi mereka dengan kata-kata seolah menuduh dan menterdakwaiku “bersalah”
Tidak adil…! Cari hujjah nya dulu donk! Jangan seenaknya menuduh!
Coba lihat sana akhwat yang sering smsan dan telpon-telponan dengan ikhwan di atas jam malam dengan ketawa ketiwi pula, dan yang dibahas pun tidak penting….
Dan sempat aku dengar ada akhwat yang pernah pacaran kendati jadi aktifis,
dan ada juga yang boncengan sana-sini sampai sekarang…
Mereka dibiarin saja tuh…
Nah aku? Dibesar-besarkan dan kenapa selalu aku yang disalahkan?
Astaghfirullah…. Ah, slow slow…
Oh iya dia juga mengaku sering dicurhatin tiga akhwat dulunya
Dalam hal pribadi dan minta nasehatnya
Dan satu diantaranya cantik sekali, Subhanallah….
Nah terus mbok yo kok aku yang disukai?
Sambil pakai acara laporan ke MR lagi!
Yang seperti itu dibilang cinta?
Apanya yang cinta?!
Yang kudapat adalah tersakiti
Dan yang membuatku kecewa, rusaklah persahabatan
Coba dia tidak pernah baik sama aku
Mungkin aku sudah membencinya
Tapi, aku masih ingat kebaikan-kebaikannya
Dia adalah sahabatku
Aku masih kasihan padanya, masih simpati
Dan dia tetap kuanggap sebagai saudara sampai detik ini
Sering kali aku berusaha membuat dia membenciku
Karena hal yang sama mungkin akan terulang kembali
Iya benar, hal yang sama akan terulang kembali
Dan hal yang sama itu adalah “patah hati”
Aku pernah membuat orang-orang yang menyatakan cinta padaku patah hati
Tapi anak ini keras kepala
Makanya aku kesal, kesal pada diriku sendiri
Aku hanya ingin dia tidak perlu menyukaiku
Aku bukanlah orang yang baik untuknya
Dan sudah kujelaskan itu semua
Tapi tetap saja bersih keras
Ya Allah, dicintai orang itu adalah ujian
Sama halnya dengan menyukai seseorang
Benar-benar ujian
Aku tidak ingin membenci siapa pun
Aku tidak ingin membenci, nanti Allah jadi benci sama aku karena tidak suka sama hambaNya
Aku sedih, karena dia adalah sahabatku
Seorang yang selama ini sering membantuku
Dan aku tidak ingin ini semua terjadi
Tapi mau bagaimana lagi hatiku tidak bisa dipaksakan
Aku tidak ingin memberi harapan
Makanya aku pun medelete jejaring sosialnya
Tapi tidak aku blokir, aku tidak ingin semakin menyakitinya
Aku juga mendelete kontak dengannya
Saat ini…
Yang kulakukan hanyalah “Percaya”
Percaya pada Allah saja
“Aku titip dia sama Allah saja”
Semoga dia bertemu dengan wanita yang shalihah yang jauh lebih baik dariku
Atau jika ternyata akulah yang terbaik untuknya, semoga Allah membukakan hatiku
Cukup adil untukku ditengah perasaanku yang nano-nano
Namun aku tak tahu apakah ini adil untuk dua orang yang berbeda
Harusnya aku tidak memutus jejaring sosial mereka
Harusnya aku tidak mendelete kontak mereka
Salah mereka apa coba?
Yang salah kan aku bukan mereka?
Akhirnya aku pun memblokir jejaring sosial (FB) ku sendiri
Karena semua bermula dari FB
Aku sekarang cukup mengikuti dunia twitter dan mengisi tulisan-tulisan ku
Toh…. mereka tidak akan baca-baca blog yang ku kelola
Dan mereka tidak mungkin mengikuti twitterku juga
Entah mereka punya twitter or tidak?
Peduli amat?!
Tidak juga sih, aku bohong jika bilang tidak tahu twitter orang yang kusuka
Tapi aku tidak follow twitter nya
Males, aku tidak mau patah hati
Cinta membuatku takut, aku tidak mau ambil resiko…
Ah… menyukai repot, disukai juga repot
Nah terus maunya aku ini apa?
Bertanya pada diri sendiri seperti ini membuatku sedikit geli mendengarnya
Mmm…. Mauku itu yah adalah, “aku cepat nikah” itu saja…
menikah dengan orang yang tepat, yang terbaik dalam urusan dunia akhiratku
dengan menikah tentramlah hati, pikiran, dan ibadahku…
dan dengan menikah terlindungilah aku dari fitnah
Tapi selama ini aku juga sering dijodohkan
Ini kali kelima tepatnya aku dikhitbah orang
Satu diantaranya tidak ke rumah
Just omongan doang….
Dan rata-rata sudah memiliki pekerjaan
Ada yang PNS juga
Tapi semuanya ku tolak
Nah terus mauku apa? Katanya mau nikah? Gimana sih?!
Yah habisnya hatiku belum srek, belum deg begitu..
Mau PNS, mau PNI, mau PNA itu tidak berpengaruh padaku
Bukannya naif…
Cara berpikirku dan cara berpikir keluargaku memang agak beda
Untuk orang yang agak kritis sepertiku
Maka ketika aku tanya si dia dalil kenapa wanita harus menutup aurat?
Malah si PNS nya nanti jawab “memang dari sono nya kali”
Gubrak!…
Terus ketika misal kita punya anak
Mas ndak disuruh cepat pergi ke TPQ tah anaknya?
“Ah… udah! besok ulangan matematika
Nanti dia kudu jadi insinyur, ngaji mah belakangan”
Ding dong…..!
Terus terus nanti malah ada tokoh tambahan di rumah sembari nyuruh
“ngapain sih pakai rok dan jilbaban besar, seperti orang kolot saja, jadi istri yang modis donk!”
Aaaaaaaaaaaaaa,,,,,,, tidaaaaaaaaak!
Aku tak mau hidup melarat dengan kehidupan jauh dari nuansa Islami seperti itu
Ya sudah, nikaho sana sama ustad! Tidak dinafkahi, tahu rasa dikau!
Ng…? nggak begitu juga..
Nah terus?
InsyaAllah orang yang baik agamanya tidak akan menelantarkan istrinya
Rasulullah SAW kan begitu?
Orang yang faham agama tentunya tahu kewajibannya sebagai seorang suami
Dan aku juga mintanya tidak muluk-muluk
Aku hanya minta semoga “dia yang masih dirahasiakan Allah” dalam keadaan baik agamanya, baik aqidahnya, baik akhlaknya, baik ilmunya
Aku tidak suka shopping seperti kebanyakan wanita trendy di luar sana
Aku juga selama ini kalau ada rezeki Alhamdulillah
Tidak ada ya juga Alhamdulillah
Uang hasil ngelesi juga tidak aku minta meski sudah selesai kemarin
Bukannya tidak mau minta juga sih atas hakku, tapi aku sungkan
toweng toweng…..
Tenang tenang…. Aku tidaklah sebaik itu
Aku maunya dibimbing bukan membimbing
Aku tipe orang yang perlu didorong dan diberi contoh dalam kebaikan
Makanya aku butuh dibimbing, InsyaAllah nurut selama itu baik
Neh? Bicaraku semakin kemana-mana ini?
Nano-nano ulala….
Jadi sekali lagi yang kuinginkan syaratnya cuman sederhana
menikah dengan seorang yang “baik agamanya”
Sederhanakan?
Terus ada salah satu temanku menyarani ini padaku…
Kenapa tidak diajak nikah saja orang yang kamu suka itu?
Beh…..? sing gennah… masak iya aku melakukan itu.
Pertama: Dia itu masih anak-anak, masih belum punya pikiran keseriusan untuk menikah, suka sih suka tapi aku maunya nikah dengan orang yang serius. Bukan sama anak-anak.
Kedua: Ngapain aku ngajak-ngajak duluan…. Idih, amit-amit… Jangan bercanda begitu napa?
Ketiga: Aku harusnya berkaca, siapa aku? Dalam banyak hal aku masihah belum pantas.
Keempat: Dia pasti sudah ada seseorang yang special di hatinya, jadi mana mungkin aku berharap lebih, ngawur!
Terakhir, jika ada seorang yang membaca tulisanku ini jangan komplen ya?
Kalaupun mau komplen monggo-monggo aja sih….
Aku selipkan sebuah kata-kata seorang sufi nih, yang aku baca di sebuah buku judulnya “Logika Agama” Bpk. Quraish Shihab.
“Pergunakanlah dua cermin dalam dirimu, satu cermin untuk melihat kebaikan orang lain supaya kamu bisa mencontohnya dan tidak meninggi-ninggikan kebaikan dirimu sendiri, dan cermin yang lain dipergunakan untuk melihat keburukan dirimu sendiri supaya kamu mau memperbaikinya dan tidak mengorek-ngorek keburukan orang lain”
Intinya aku mau bilang, kalau coretanku ini ada manfaatnya, manfaatnya datang dari Allah, kalau ada jeleknya maafkan aku yah? because aku sedang lowong nih untuk iseng-iseng nulis, curhat maksudnya….
Aku menuang semua perasaanku lewat tulisan karena aku kurang vocal dalam berbicara
Aku juga rada introvert
Mengaku tertutup tapi kalau sekali cerita tidak tanggung-tanggung gitu loh?
Yang bener yang mana coba?
Ah, aku juga kadang bingung dengan diriku sendiri
Apa yang aku lakukan dan katakan senada dengan nuansa ruhiyahku
Jika ruhiyahku stabil maka apa yang aku nyatakan insyaAllah baik
Kalau ruhiyahku labil maka rada Gak Jelas!
Jadi mohon maaf jika ada yang kurang berkenan.
==================================================================
Jam Maria
Bangkalan, 19 November 2013
5.56 AM